From Louvre To Prambanan I'm In Love



Dia menghilang, seiring dengan berlalunya segerombolan turis dari hadapan lukisan Monalisa yang ternyata seukuran tak lebih dari poster BigBang dari sebuah majalah remaja yang terpajang sendirian di dinding kamarku.
Aku mencoba menelisik ke dalam kerumunan itu, tapi aku tetap tak menemukannya. Aku benar-benar benci diriku yang mudah lupa, dan aky benar-benar benci diriku yang tak bisa melupakan caranya memberikan buku catatanku yang terjatuh saat mengantre tiket di depan Musee de Louvre.
Wajahnya yang khas Indonesia tapi aku benar-bebar lupa bagaimana wajahnya, tubuhnya yang tegap, caranya memegang kamera SLR yang aku juga lupa seri berapa, tapi parfumnya yang segar dan maskulin, seperti sudah menempel di hidungku. Kenapa aku tak bertanya namanya??? Entah aku beruntung atau tidak, tapi aku sempat mengambil gambarnya dari samping.
Huh, jauh-jauh aku merangkai mimpi untuk bisa ke Paris, dan sekarang aku sedang di Museum Louvre yang identik dengan Paris, tapi hatiku sepertinya benar-benar mencintai Indonesia selamanya.
---
Ini hari ketigaku di Paris, kini aku dan kedua kakiku melangkah ke Arc de Triomphe ehmm... lagi-lagi aku lupa! yang pasti ini bangunan yang Kotak! hahaha aku serius, ini bangunan berbentuk kotak yang saaanggaaat besar.
Aku, seorang perempuan berwajah pas-pasan tapi punya segudang mimpi, salah satunya mengunjungi tempat-tempat yang terdapat di buku 99 Cahaya di Eropa, karangan Hanum Salsabiela.
Setelah puas mrnjepret bangunan besar itu, aku memutuskan untuk ke La Grande Mosquee de Paris, dengan menaiki metro atau kereta bawah tanah.
Sepanjang perjalanan yang hanya beberapa belas menit, aku berpikir jika aku bisa bertemu dengan pria itu. tapi mengingat luasnya kota Paris dan banyaknya tempat wisata, kemungkinan bisa bertemu lagi sangat kecil, kecuali Tuhan sedang iseng ingin membuat kami bertemu lagi.
Sesampainya di stasiun yang namanya begitu njelimet, berdasarkan novel yang setia menemaniku, aku hanya harus berjalan untuk sampai ke Masjid terbesar di Paris.
"Subhanallah...", hanya kalimat itu yang bisa keluar dari mulutku, rasanya mulutku terlalu kelu untuk mengeluarkan kata-kata yang bisa ku katakan sebagai candaan bersama teman-temanku, seperti Gila! Sinting! Anjrit! Edaan! dan sejak saat itu, aku berjanji tidak akan lagi menggunakan kata-kata yang tak berperikemanusiaan.
Aku teringat dengan kamera yang kukalungkan di leher, seperti turis lainnya, aku menjepret bangunan yang menurutku kereeeenn itu berkali-kali.
"Gayamu sudah seperti fotografer kelas atas saja" suara seseorang yang sepertinya pernah ku dengar.
Aku berpikir sejenak, seseorang dengan bahasa Indonesia yang fasih di kota Fashion??? Aku yang sedang duduk bersila sambil melihat hasil jepretanku, mendongakkan kepala, memastikan kalimat tanya itu benar untukku.
Jika tadi aku hanya bisa mengeluarkan sebuah kalimat "Subhanallah", kini rasanya aku ingin mengeluarkan semua kalimat pujian untuk Allah SWT.
Untuk menutupi kegugupanku, aku hanya tersenyum. Tanpa kusangka, ia ikut duduk bersila di sampingku, lalu ikut memfoto La Grande Mosquee de Paris itu. mataku tak bisa lepas dari wajahnya, seolah-olah aku ingin mengabadikan, melukiskan bentuk wajahnya, mataku tertuju pada lesung pipinya, aku jadi teringat apa yang sebenarnya membuatku tak bisa melupakannya, lesung pipi yang hanya ada di pipi kanan.
KLIK, sebuah blitz mengagetkanku. Aku jadi benar-benar merasa malu karena tertangkap basah sedang memperhatikan seorang pria di hadapanku.
"Indonesian, right?"
aku mengangguk, "Yup, and you?"
"hahahaha aku juga, apa kau selalu kabur dari rombongan?", ia kini menatap mataku.
"kabur dari rombongan?"
"ya, sejak di bandara aku melihatmu bersama segerombolan orang Indonesia, tapi saat di Louvre aku melihatmu sendirian, lalu malah mengekor dengan teman-temanku, lalu di Eiffel, Arc de Triomphe, metro, dan sekarang duduk bersila menghadap Masjid terbesar di Paris... sendiruan".
aku diam sejenak, lalu tersenyum menahan tawa, "dari ceritamu, sepertinya kaulah yang kabur dari rombonganmu", aku memalingkan wajah ke arah menara masjid yang berdiri megah.
" hehehehe iya sihh", ia menggaruk-garuk kepalanya, "jadi bagaimana denganmu?"
"hhh... aku? kalau kubilang aku pergi ke Paris sendirian, bagaimana menurutmu?", aku membalas tatapannya.
"hmm... aku tebak, kau sedang patah hati, dan berjalan-jalan menusuri Paris untuk menyembuhkan luka hatimu",
Lagi-lagi aku menahan tawa, " dan aku tebak itu yang sedang kau rasakan"
"hehehehe, lalu?"
"aku tak pernah patah hati, karena tak ada yang pernah mematahkan hatiku, lagipula jika aku sedang patah hati, kudengar Itali lah tempat yang menurutku lebih pas untuk menyembuhkan luka hatimu", aku diam sejenak, "aku kesini karena aku ingin ke sini, aku sedang jatuh cinta", aku mencoba menyelami bola matanya yang hitam, "jatuh cinta dengan apa yang kulihat di depanku",
aku tersadar dengan kata-kataku, aku menundukkan kepala karena malu," ehmm maksudku dengan masjid di depanku", aku memandang masjid Paris, "dan kuharap aku tak akan patah hati dibuatnya".
Kami diam sejenak, memandang ke arah masjid, seolah mencari sesuatu di sana.
"oh iya, namaku Radit", pria yang ternyata bernama Radit itu mengulurkan tangannya ke arahku.
"Aku Risya", aku menyambut tangannya.
"Allahuakbar Allahuakbar...", suara muadzin yang amat merdu menyadarkan kami.
"ehmm.. Radit, aku mau solat berjama'ah di sana, kau taukan, kadang kesempatan tidak datang dua kali", aku memasukkan kameraku ke dalam tas.
"eh aku juga, tapi aku sudah janji untuk menunggu teman-temanku atau mereka tidak akan menganggapku teman mereka lagi", Radit nyengir.
aku tersenyum," baiklah, aku duluan ya",aku berdiri.
Radit juga berdiri dan mengulurkan tangannya lagi," semoga kita bisa bertemu lagi Risya", Radit tersenyum, menampakkan lesung pipinya.
Aku seketika mematung, lalu tersenyum dan menyalaminya, " ya, semoga kita bisa bertemu lagi Radit", aku berlalu, rasanya kakiku terlalu berat meninggalkannya, tapi hatiku benar-benar ingin cepat-cepat masuk ke dalam masjid dan bersujud serta mengucapkan terimakasih atas takdir yang telah mempertemukan kami lagi.
Setelah solat dan berdo'a sejenak, aku membuka tas kamera, kembali tak ingin kehilangan momen paling tak ingin kulupakan, solat di Masjid Paris. Lalu aku berjalan keluar komplek Masjid, aku menoleh ke arah tempat tadi aku dudukbersama Radit, berharap ia masih di sana dengan kameranya. Tapi tak selamanya Tuhan mengabulkan do'a kita saat itu juga, aku tak melihatnya.
Aku kelaparaaan, aku mencari tempat makan di dekat komplek Masjid. Setelah makan, aku memutuskan untuk pulang ke hotel karena aku harus pulang malam ini, berbekal catatan tentang jalan pulang dari La Grande Mosquee de Paris yang tadi pagi kutanyakan dengan resepsionis hotel.
Aku sengaja mengambil penerbangan saat itu karena menurut novel 99 cahaya di Eropa, suasana Paris the city of light di malam hari benar-benar bermandikan cahaya.
---
Aku di Charles de Gaulle, duduk di salah satu bangku, menunggu keberangkatanku kembali ke tanah air tercinta.
Aku membuka tas selempangku, mencari novel yang telah membawaku ke tanah asal Napoleon Bonaparte. Tak ada! Aku membuka ransel yang berisi pakaian dan makanan, berharap aku memasukkannya ketika tadi berkemas, tak ada! aku membuka tas ransel yang khusus berisi oleh-oleh, tak ada! di tas kamera, mana mungkin muat?!
aku kebingungan, kuambil dompet di saku belakang, berharap buku itu terselip di dalamnya, bodoh!!
Aku menghempaskan punggungku di sandaran bangku.
Beruntung kemarin sebelum pergi ke Arc de Triomphe aku sudah memindahkan tiket pesawat kepulanganku ke tas kamera.
Ooh alangkah cerobohnya aku, bisa-bisanya aku meninggalkan novel kesayanganku.
---
Sepanjang perjalanan aku mencoba menghibur diri dengan memotret pemandangan malam kota Paris.
Aku berniat akan membeli buku yang sama setibanya di Indonesia.
Sepulangnya dari Paris, aku yang sudah ditunggu jadwal UAS 2 minggu penuh sepertinya tak akan membeli novel yang baru. Yah, selain ceroboh dan pelupa, aku juga agak gila. Menghabiskan minggu tenang sebelum UAS dengan pergi ke Paris.
---
Yeaay, UAS selesai, libur panjang menunggu. Aku mungkin pelupa untuk banyak hal, tapi aku tak akan pernah lupa rencanaku ke Jogja setelah UAS selesai.
bagaimana aku bisa lupa jika tiket kereta sudah kupesan sejak lama, dan lagi catatan di telepon yang lebih pintar dari pemiliknya ini.
---
Lagi-lagi aku berpetualang sendirian. Dengan izin pergi ke Jogja selama seminggu dengan kompensasi memebelikan oleh-oleh dua kardus untuk adik dan ibuku, aku diperbolehkan menyusuri jalanan Malioboro sendirian.
---
Perjalanan yang melelahkan, dari Palembang naik kereta sampai Lampung, naik bis dan kapal untuk menyeberangi Selat Sunda, naik angkutan umum sampai ke Jakarta Pusat, singgah sehari, dan paginya langsung ke stasiun Gambir, menuju kota Gudeg, lalu naik angkutan umum sampai ke rumah saudara yang rumahnya dekat dengan candi Prambanan.
Aku merasa sangat keren, berpetualang sendirian kesana kemari.
Sore menjelang, aku memandang ke arah komplek candi Prambanan sambil duduk di bale ditemani secangkir teh dan sepupuku, Ganda.
Rasanya aku ingin cepat-cepat ke candi yang jadi salah satu gantungan kunci kamar kost ku, selain gantungan kunci bertuliskan I Love Palembang.
---
Pagi menjelang, setelah mandi dan mengemasi barang-barang yang kubutuhkan untuk menjelajahi Jogja, aku berpamitan pada Pakde dan Bude, Aji adik Ganda sebenarnya ingin sekali ikut, Ganda juga sebenarnya ingin ikut dengan beralasan ingin menjadi tour guideku, tapi semua ku tolak, karena aku tak akan terlihat keren jika berjalan menjelajahi Jogja bersama anak umur 10 dan 16 tahun.
---
Seperti yang sudah ku agendakan, aku memulai perjalananku dengan mengunjungi Prambanan di Senin yang cerah ini.
Aku mengeluarkan kamera SLR dan mulai mencari angle yang keren untuk mengabadikan Prambanan.
"ternyata kau orang yang menepati janji ya".
"pastinya", aku menjawab pertanyaan yang entah dari mana, dan memotret ke arah datangnya pertanyaan itu.
KLIK, dari balik kamera seketika aku mematung setelah menyadari siapa yang mengajukan pernyataan untukku.
---
Aku di Charles de Gaulle, duduk di salah satu bangku, menunggu keberangkatanku kembali ke tanah air tercinta.
Aku membuka tas selempangku, mencari novel yang telah membawaku ke tanah asal Napoleon Bonaparte. Tak ada! Aku membuka ransel yang berisi pakaian dan makanan, berharap aku memasukkannya ketika tadi berkemas, tak ada! aku membuka tas ransel yang khusus berisi oleh-oleh, tak ada! di tas kamera, mana mungkin muat?!
aku kebingungan, kuambil dompet di saku belakang, berharap buku itu terselip di dalamnya, bodoh!!
Aku menghempaskan punggungku di sandaran bangku.
Beruntung kemarin sebelum pergi ke Arc de Triomphe aku sudah memindahkan tiket pesawat kepulanganku ke tas kamera.
Ooh alangkah cerobohnya aku, bisa-bisanya aku meninggalkan novel kesayanganku.
---
Sepanjang perjalanan aku mencoba menghibur diri dengan memotret pemandangan malam kota Paris.
Aku berniat akan membeli buku yang sama setibanya di Indonesia.
Sepulangnya dari Paris, aku yang sudah ditunggu jadwal UAS 2 minggu penuh sepertinya tak akan membeli novel yang baru. Yah, selain ceroboh dan pelupa, aku juga agak gila. Menghabiskan minggu tenang sebelum UAS dengan pergi ke Paris.
---
Yeaay, UAS selesai, libur panjang menunggu. Aku mungkin pelupa untuk banyak hal, tapi aku tak akan pernah lupa rencanaku ke Jogja setelah UAS selesai.
bagaimana aku bisa lupa jika tiket kereta sudah kupesan sejak lama, dan lagi catatan di telepon yang lebih pintar dari pemiliknya ini.
---
Lagi-lagi aku berpetualang sendirian. Dengan izin pergi ke Jogja selama seminggu dengan kompensasi memebelikan oleh-oleh dua kardus untuk adik dan ibuku, aku diperbolehkan menyusuri jalanan Malioboro sendirian.
---
Perjalanan yang melelahkan, dari Palembang naik kereta sampai Lampung, naik bis dan kapal untuk menyeberangi Selat Sunda, naik angkutan umum sampai ke Jakarta Pusat, singgah sehari, dan paginya langsung ke stasiun Gambir, menuju kota Gudeg, lalu naik angkutan umum sampai ke rumah saudara yang rumahnya dekat dengan candi Prambanan.
Aku merasa sangat keren, berpetualang sendirian kesana kemari.
Sore menjelang, aku memandang ke arah komplek candi Prambanan sambil duduk di bale ditemani secangkir teh dan sepupuku, Ganda.
Rasanya aku ingin cepat-cepat ke candi yang jadi salah satu gantungan kunci kamar kost ku, selain gantungan kunci bertuliskan I Love Palembang.
---
Pagi menjelang, setelah mandi dan mengemasi barang-barang yang kubutuhkan untuk menjelajahi Jogja, aku berpamitan pada Pakde dan Bude, Aji adik Ganda sebenarnya ingin sekali ikut, Ganda juga sebenarnya ingin ikut dengan beralasan ingin menjadi tour guideku, tapi semua ku tolak, karena aku tak akan terlihat keren jika berjalan menjelajahi Jogja bersama anak umur 10 dan 16 tahun.
---
Seperti yang sudah ku agendakan, aku memulai perjalananku dengan mengunjungi Prambanan di Senin yang cerah ini.
Aku mengeluarkan kamera SLR dan mulai mencari angle yang keren untuk mengabadikan Prambanan.
"ternyata kau orang yang menepati janji ya".
"pastinya", aku menjawab pertanyaan yang entah dari mana, dan memotret ke arah datangnya pertanyaan itu.
KLIK, dari balik kamera seketika aku mematung setelah menyadari siapa yang mengajukan pernyataan untukku.
"ku tebak, kau ke Jogja dari Palembang sendirian", orang itu tersenyum menampakkan lesung pipi di pipi kanan.
"Radit???"
Radit masih tersenyum, lalu mencari sesuatu di tas ranselnya, "ini", Radit mengulurkan sebuah buku yang sangat ku kenal.
"haah bukuku!!!", aku mengambilnya dari tangan Radit, mencium novel itu berkali-kali, memeluknya seakan tak ingin novelku menghilang lagi.
"kau meninggalkannya saat di pelataran Masjid"
Aku tersadar, lalu memandang kearahnya, satu pertanyaan yang sangat ingin kutanyakan, " dari mana kau tau aku disini??"
"hahaha kau sudah sarapan? aku belum", Radit mengelus perutnya, "temani aku cari makan ya", Radit berjalan
"tapi jawab pertanyaanku..."
Radit menoleh ke arahku, "temani aku makan, nanti kuceritakan, aku yakin kau akan banyak bertanya", Radit tersenyum, lalu berjalan lagi.
Kami duduk bersebelahan, berhadapan dengan nasi pecel di salah satu angkringan yang sudah buka di pagi hari, atau yang dari malam belum tutup...
"Sebenarnya kalau kau tak jadi ke Jogja, mungkin aku akan ke Palembang bulan Juli awal"
aku menileh dengan cepat, memasang tampang keheranan.
"hahahaha ternyata selain kau orang yang menepati janji, kau juga pelupa ya?"
"maksudmu?"
"atau kau sengaja meninggalkan agendamu di novel itu? dan menulis riwayat hidupmu di setiap buku milikmu?", Radit mengedipkan sebelah matanya.
Aku berpikir sejenak, "Aah!!! hehehehe, sebenarnya aku lupa memasukkan agenda itu ke bukunya setelah mencatatnya ke smart phoneku", aku mengacungkan handphoneku sambil tersenyum riang, "aku juga suka menulis alamat di bukuku karena aku sering kehilangan buku".
"Apa kau juga menyelipkan foto orang yang kau suka di buku-bukumu?"
"hah???", aku cepat-cepat memeriksa novelnya, sepertinya sekarang wajahku sudah seperti kepiting rebus karena menahan malu.
"hehehehehe maaf... sepertinya aku sudah jadi penguntitmu di Paris",
"ataau secret admirer", ia melihat kearahku, lalu tertawa terbahak-bahak.
Aku tau apa yang menyebabkannya tertawa, pasti karena melihat wajahku yang sekarang sudah seperti kepiting rebus dengan santan merah pedas.
Aku menutupi rasa maluku dengan melanjutkan makanku.
"ehmm Risya", aku melihat Radit mengeluarkan dompetnya, tapi tiba-tiba handphone Radit berbunyi, ia permisi padaku untuk mengangkat telepon.
Sepertinya itu telepon yang gawat, qku melihat raut wajanya tegang, ia menutup telepon dengan cepat, lalu kembali ke tempat duduk,
"Sya, aku harus pergi sekarang, dah", Radit meletakkan uang sepuluh ribu di meja, lalu berlalu, tanpa menoleh padaku lagi.
Aku bahkan belum sadar dengan apa yang dilakukannya barusan, kulihat ia kembali dengan tergesa-gesa.
"Risya, seperti yang pernah kau bilang, kesempatan hampir tak pernah datang dua kali, tapi kita bisa bertemu lagi, kupikir ini adalah takdir", Radit berkata dengan cepat, ia mengambil handphoneku dan melakukan sesuatu di sana sambil terus berbicara, "aku tak ingin bermain-main dengan takdir, aku akan meneleponmu setelah pekerjaanku selesai. kita pasti bertemu lagi, Risya", Radit kali ini benar-benar pergi dari hadapanku. Aku masih tak sadar, otakku masih dalam keadaan loading, searching for translator.
Aku mau melanjutkan makanku, sampai aku melihat dompet kulit berwarna coklat polos. dompet Radit.
Aku mencari handphoneku, sepertinya yang ceroboh dan pelupa bukan hanya aku, Radit membawa handphoneku dan ia meninggalkan dompetnya. Cocok!
Aku membuka dompet itu, di bagian foto kulihat foto Radit dan seorang perempuan paruh baya, juga seorang laki-laki yang lebih tua sedang merangkul Radit dengan bangga, pasti mereka orang tua Radit. ternyata bagian foto itu bisa dibuka, kulihat bagian belakangnya, sepertinya Radit selalu membuatku mematung, aku melihat wajah yang sangat kukenal, dengan latar belakang pelataran komplek La Grande Mosquee de Paris. Seorang perempuan berkerudung dengan ekspresi melongo, aku tak sadar wajahku bisa terlihat semanis itu saat melongo, atau karena itu hasil jepretan Radit?
Aku menggelengkan kepala, mencoba mencari kartu namanya di deretan kartu.
Rumah Sakit bla bla bla
dr. Muhammad Radit
bla bla bla
08126756xxx

"dokter??? berarti yang dimaksud urusan tadi, pasien di rumah sakit? pasti ia kabur saat bertugas!", aku membayar makananku dan memberikan uang Radit tadi, lalu mencari taksi, aku sedang tak ingin tersasar di tanah orang.
---
Aku sampai di rumah sakit tempat Radit bekerja. Aku bertanya pada resepsionis disana.
"mbak, Radit dimana?", aku bertanya sambil ngos-ngosan karena tadi berlari, aku tak tau kenapa aku berlari.
"Radit? pasien?", suster itu malah balik bertanya.
"oh iya, dokter Radit, Muhammad Radit"
"Ooh... dokter Radit, beliau sedang menangani pasien UGD mbak"
"UGD dimana? UGD dimana???", aku menoleh ke kanan dan kiri.
"maaf mbak, sebaiknya mbak tunggu saja di sana, karena Dokter Radit tidak boleh diganggu dulu", si suster menunjuk ke barisan bangku tunggu dan menyunggingkan senyum.
"umm... kalau Dokter Radit sudah selesai, tolong kasih tau ya mbak", aku balas senyum dan berjalan ke bangku tunggu.
Baru duduk sebentar, aku kembali ke meja resepsionis, iseng aku bertanya, "mbak, tadi dokter Radit datang kesini naik apa?"
"ehmm... kalau tidak salah naik taksi mbak"
aku berpikir sejenak, " apa ada yang dia katakan sebelun masuk ruang UGD?"
Si suster kibi terlihat berpikir, "ah tadi beliau pinjam uang untuk bayar taksi"
"hahahahaha", aku tertawa, entah kenapa aku merasa sangat geli mendengar Radit pinjam uang untuk bayar taksi.
"hei, sus ini kenapa pasien sakit jiwa nyasar ke sini?"
Aku tersentak kaget mendengar suara itu, aku membalikkan badan, dan mendapati Radit di depanku. Aku hanya bisa nyengir.
"bagaimana kau bisa tau aku disini?", Radit bertanya padaku.
Aku tersenyum senang, "kau harus mentraktirku segelas kopi, tapi aku tidak mau ditraktir dengan uang hasil berhutang, dan aku akan menceritakannya, kau pasti akan banyak bertanya", aku mengeluarkan dompet kulit dan mengibaskan ke depan wajahnya.
"Destiny, the third chance", aku menyunggingkan senyum yang menururku termanis.
Kami masih di depan meja resepsionis, kini Radit yang terlihat terpaku.
Aku berjalan menuju pintu keluar, saat sadar bahwa Radit tak disampingku, aku kembali menghampirinya, "hei!" aku membuka dompetnya lagi dan memperlihatkan fotoku yang terpajang di dompetnya, "apa ini pacarmu? cantik yah", aku mencubit pipinya.
"huuh dasaarr" Radit balik mencubit pipiku, ia memegang tanganku, menggenggamnya. Kami berjalan keluar.
"dok dok! dokter Radit, ini masih jam tugas dokter! dok, jangan kabur lagi!!", si suster teriak-teriak memanggil Radit.
Radit yang merasa dirinya terancam, menggenggam tanganku lebih erat dan membawaku berlari.
"hei, kau berhutang banyak cerita padaku dok", aku melihat kearahnya.
"kau juga berhutang cerita padaku mahasiswa semester 3"
"hahahaha" kami hanya tertawa, berhenti berlari setelah sadar kami sudah di luar rumah sakit.
"eh kembalikan handphoneku!", aku melepaskan genggamannya.
"hah? hehehehe", Radit mengeluarkan handphoneku dari saku kemejanya.
---
"kau sudah ke candi Borobudur?"
"rencananya besok"
Kulihat Radit mau membuka mulut mulai berbicara.
"kurasa berdua akan lebih keren", aku mengedipkan sebelah mata.
"aku janji tak akan kabur", Radit memembuat huruf V dengan tangan kanan, "aku tak ingin pasanganku tiba-tiba bertemu turis yang kabir dari rombongan".
"hahahaha"

---THE END---

Komentar

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. eciyyeee udah jadi. Bagus kok, aku suka bagian di Parisnya (you know that I prefer western to Indonesia :p) but over all you got it, dude ! Congrate xD

    BalasHapus

Posting Komentar