Cincin itu, yang katamu mirip diriku, manis, berkilauan, membuat orang yang melihatnya langsung tertarik pada pandangan pertama. Katamu itulah yang kau rasakan saat pertama kali melihatku. Cincin yang sebenarnya hanya cincin biasa, hanya cincin perak polos bermata sebuah berlian kecil berwarna putih bening yang tertanam di cincin itu, sangat sederhana, tapi kau tetap ngotot untuk membelikannya untukku, padahal kamu tau aku tak suka mengenakan perhiasan selain gelang seharga tiga ribuan seperti tasbih hasil bujuk rayuku untuk kau belikan saat tak sengaja kita bertemu di pasar, jauh sebelum aku dan kamu mengenal kata cinta, dan yang ada hanya dua teman akrab.
Kini cincin itu tergantung manis di sebuah kalung tali hitam yang kuletakkan di atas meja belajar di samping tempat tidurku. Jari-jariku mengambil cincin itu, kupandangi setiap sudutnya. Setiap sudut itu kini mengingatkanku pada semua cerita kita.
Aku tertawa kecil ketika teringat seberapa cerobohnya aku hingga ku jatuhkan cincin itu ketika sedang mencuci beras. Aku sadar ketika nasi sudah matang. Ku lihat cincin itu tak ada dijari manis tangan kiri, dan ternyata cincin itu kau temukan di dalam bekal nasiku, lalu saat dengan isengnya aku membuat brownies untukmu, kali ini aku salah meletakkan cincin ketika ingin mencuci tangan, bukannya kuletakkan di atas oven, malah ku letakkan di atas adonan kue yang siap masuk oven. Sebuah senyum darimu ketika kukatakan bahwa aku menghilangkan lagi cincin pemberianmu, dan ketika kau makan kueku, kau dengan gemas mengelus kepalaku saat kau temukan cincin itu ada di kuemu. Hingga akhirnya kau datang ke kosanku dengan sebuah tali hitam. Kau duduk disampingku, sibuk membuat simpul, lalu kau ambil tangan kiriku, kau lepaskan cincin itu. Aku sempat terkejut melihat tindakanmu, tapi ternyata kau memasukkan cincin itu di tali tersebut, menyimpulnya lagi, dan jadilah sebuah kalung. Aku benar-benar kehabisan kata dengan semua tindakan romantismu itu.
Masih banyak lagi cerita tentang kita, tak ada waktu tanpa senyum darimu.
Tiba-tiba hatiku sakit, ketika aku teringat saat kau membuang cincin itu setelah sebelumnya aku menyinggung soal mantanmu, kau tau, aku benar-benar merasa bersalah saat itu. Apalagi saat cincin itu jatuh menggelinding masuk ke dalam selokan yang cukup dalam. Lalu kau berlalu meninggalkanku begitu saja. Hatiku benar-benar sakit waktu itu, rasanya ingin kusudahi saja hubungan yang masih saja kau sebut persahabatan itu. Aku menghabiskan sore itu dengan berkutat di dalam selokan yang mulai basah karena air mata yang diam-diam mengalir dari sudut mataku. Sungguh, aku ingin sekali memelukmu dan menumpahkan air mataku di dalam dekapanmu ketika kau ikut turun ke dalam selokan ketika senja mulai hilang. Tapi sebuah ikatan yang kau lingkarkan pada kita atas nama sahabat itu membuatku melangkah mundur, menyerap air mataku. Kau selipkan kembali cincin perak itu di jari manisku, setelah akhirnya kau temukan di dalam selokan itu.
Kurasakan sudut bibirku terangkat, pikiranku melayang pada bulan lalu, ketika kau berkata untuk meminjam kalung dengan cincin itu. Kau buka simpul yang setahun lalu kau buat untuk menghindarkanku dari keahlianku menghilangkan cincin pemberianmu. Kau pandangi sejenak cincin yang kau beli satu setengah tahun lalu. Kau pandangi mataku, aku merasa kau sedang menyelami pikiranku. Lalu kau mengambil tangan kiriku, dan kau berkata,”maukah kau menjadi pacarku?”.
Lalu kau kembali berkata, “aku harus pergi satu bulan ke luar negeri, karena aku diterima bekerja di salah satu perusahaan asal luar negeri, dan harus menjalani tes disana. Aku akan membelikanmu pastel kesukaanmu ketika aku pulang nanti”.
Sedih, kini pun aku rasakan ada aliran yang hangat mengalir dari sudut mataku. Teringat hubungan yang setelah sekian lama kudambakan akhirnya terjadi juga, namun kau harus pergi, walaupun sebulan lagi kau akan kembali.
Kita barusaja jadian, dan langsung LDR. Tapi aku tetap tersenyum mengingat kita akan bertemu lagi.
Esoknya aku mengantarmu ke bandara. Rongga dadaku terasa sesak. Aku tak bisa melepaskanmu. Kau bukan cincin perak yang dengan ceroboh sering kuhilangkan. Air mataku tumpah di punggungmu ketika aku memulukmu, aku benar-benar tak bisa. Seketika aku merasa ada kabut tebal menghinggapi dan berusaha menjauhkan kita. Tanganmu kembali mengelus kepalaku. Suatu yang benar-benar kusukai, ya caramu mengelus kepalaku. Aku memegangi tangamu yang masih di atas kepalaku. Mencoba menyimpan rasa itu lekat-lekat di dalam kepala, dan benak ini.
Kaupun pergi, dan dimulailah lembar baru bernama Long Distance Relationship.
Barusaja aku pulang, duduk di sudut tempat tidurku sambil memandangi cincin perak pemberianmu. Lalu berita itu datang. Sebuah pesawat tujuan Amerika yang ku tau persis kau naiki mengalami kerusakan mesin saat terbang di udara, dan dengan sekejap terbakar di atas langit biru nan cerah, yang pernah kau tunjukkan padaku bahwa itu adalah sebuah kolam susu blueberry dan gulungan permen kapas, kesukaan kita berdua disaat kita duduk satu meja di kafe dekat kampus.
Kau tau, rasanya hatiku hancur berkeping-keping. Air mata membanjiri pipiku yang baru setengah jam lalu kau pegang dengan kedua tanganmu yang hangat.
Rongga di dadaku seketika kembali terisi penuh, dengan semua kepedihan yang tiba-tiba datang. Hidupku hancur. Harapanku, cintaku, mimpiku, jiwaku, menguap bersama dengan kabut dan asap yang mengantarkanmu tenggelam di dalam kolam blueberry kita.
Sebulan telah berlalu, bahkan berita pesawat itu belum juga berakhir. Tapi aku teringat kata-kata ketika kau kalungkan kalung tali dengan cincin itu di leherku, “ku gantungkan harapanku, harapan kita, bahagiaku, bahagia kita, mimpiku, mimpi kita, cintaku, cinta kita, dan jiwaku, walau ragaku mungkin tak selamanya ada di sampingmu”.
Komentar
Posting Komentar